KERA
AYAT :
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ ٱلَّذِينَ ٱعْتَدَوْا۟ مِنكُمْ فِى ٱلسَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا۟ قِرَدَةً خَـٰسِـِٔينَ
QS. Al Baqarah, 65 : Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina".
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَٰلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ ۚ أُولَٰئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
QS. Al Maidah, 60 : Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
QS. Al A’raf, 166 : Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina.
KISAH :
Kisah Pelanggaran Ashabus Sabti dalam Al-Quran
Ashabus Sabti adalah salah satu umat terdahulu yang diceritakan Allah di dalam Al-Quran. Mereka dinamakan Ashabus Sabti karena melanggar larangan hari Sabtu yang diberikan Allah kepada mereka. Sebuah ketetapan dari Allah yang dilanggar oleh mereka dan membuat murka Allah hingga akhirnya berujung kutukan pada mereka.
Kisah Ashabus Sabti dalam Al-Quran terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 65 dan Surat Al-A’raf ayat 163-166. Mereka ini adalah salah satu umat terdahulu yang Allah jadikan contoh kepada umat yang datang kemudian agar memetik pelajaran. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 66, bahwa semua kisah umat terdahulu yang diabadikan Allah dalam Al-Quran menjadi pelajaran. Apabila kisahnya adalah orang-orang saleh maka harus menjadi teladan. Sebaliknya, jika kisahnya adalah umat yang tidak taat kepada Allah seperti Ashabus Sabti ini, maka harus dijadikan refleksi agar tidak terulang dan malah mempertebal keimanan.
Kontrak ibadah Ashabus Sabti
Menurut ungkapan Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn, Ashabus Sabti ini adalah kaum Bani Israil yang tinggal di pinggir laut Qazlum (Laut Merah), yaitu kota Aylah. Keterangan bahwa Ashabus Sabti adalah kaum Bani Israil ini senada dengan penjelasan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim mengenai asbabun nuzul Surat Al-A’raf ayat 163. Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Dalam ayat tersebut Allah meminta Rasulullah untuk menanyakan kepada kaum Yahudi perihal leluhurnya yang diazab-Nya karena tidak melanggar aturan.
Aylah adalah kota yang terletak di tepi laut antara negeri Mesir dan Makkah. Ibnu Katsir rahimahullah dalam al-Bidayah wan Nihayah menambahkan, antara Madyan dan Thur. Negeri ini subur dengan kurma dan hasil laut berupa ikan yang berlimpah. Kota ini merupakan batas pertama wilayah Hijaz. Penduduknya terdiri dari berbagai ras. Kota ini termasuk batas kerajaan Romawi zaman dahulu.
Negeri ini pula yang diisyaratkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَسَۡٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ حِيتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعًا وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ لَا تَأۡتِيهِمۡۚ كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air. Di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (al-A’raf: 163)
Jika dirunut sejarahnya, cara beribadah umat terdahulu berbeda dengan umat yang sekarang. Perbedaan ini meliputi tata cara, dan waktu pelaksanaan. Pada zaman Ashabus Sabti, ketetapan ibadah yang diberikan Allah adalah satu minggu sekali yaitu pada hari Sabtu. Pegkhususan hari Sabtu untuk beribadah kepada Allah ini mempunyai implikasi terhadap larangan Allah kepada mereka untuk mencari ikan sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-A’raf ayat 163. Sebuah kontrak ibadah yang ditentukan Allah dan disepakati oleh Ashabus Sabti.
Al-Mahalli dan As-Suyuthi menjelaskan bahwa pada pada hari-hari lain selain hari Sabtu, tidak muncul sama sekali ikan di permukaan laut. Sebaliknya pada hari Sabtu, di mana mereka terikat kontrak ibadah, malah banyak sekali ikan yang bermunculan. Kemunculan ikan-ikan di hari Sabtu ini memang disengaja Allah sebagai ujian bagi mereka. Bagaimana ketaatan mereka kepada Allah serta keseriusan kesepakatan mereka kepada Allah. Apakah mereka akan taat ataukah melanggar. Karena ketika suatu kaum lulus ujian, mereka akan naik kelas dan mendapat rahmat dari Allah. Namun, apabila mereka terlena dan terbuai oleh kenikmatan sesaat, mereka tidak naik kelas dan menjadi umat buruk yang diazab oleh Allah.
Konon, mereka masih berpegang dengan ajaran Taurat dalam menghormati hari Sabtu di masa itu. Waktu itu, mereka diharamkan melakukan usaha dalam bentuk apa pun. Sementara itu, ikan-ikan banyak berenang dari laut ke tempat mereka dengan tenang dan aman tanpa diganggu sedikit pun. Namun, pada selain hari Sabtu, ikan-ikan itu tidak pernah datang lagi.
Melihat hal ini, mereka pun melakukan tipu muslihat agar dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Mereka memasang tali, jaring, dan perangkap, serta menggali lubang ke arah tempat air yang sudah mereka buat untuk menampung ikan-ikan yang dihanyutkan oleh air laut. Kalau ikan-ikan itu sudah berada di dalam lubang itu, mereka tidak dapat keluar lagi untuk kembali ke laut.
Mereka pun memasangnya pada hari Jumat. Ketika ikan-ikan datang dan terperangkap pada hari Sabtu, mereka menutup jalur menuju laut sehingga ikan-ikan itu terperangkap. Setelah lewat hari Sabtu, mereka mengambil ikan-ikan tersebut.
Akhirnya, Allah subhanahu wa ta’ala murka dan melaknat mereka karena perbuatan mereka. Mereka melakukannya untuk melanggar perintah-Nya dan apa yang Dia haramkan dengan sebuah tipu muslihat. Secara kasat mata, seolah-olah mereka tidak berbuat apa-apa padahal mereka telah melakukannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan kejadian tersebut, “Dan tanyakanlah kepada mereka,” maksudnya Bani Israil. “tentang negeri yang terletak di dekat laut,” di tepi pantai, tentang pelanggaran yang mereka lakukan serta hukuman Allah subhanahu wa ta’ala yang ditimpakan atas mereka. “Ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu,” padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan agar mereka mengagungkan dan menghormati hari tersebut dan tidak berburu apa pun.
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menguji mereka dengan, “datangnya ikan-ikan kepada mereka terapung-apung di permukaan air di hari Sabtu itu,” sedemikian berlimpah terapung di permukaan laut. “dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka,” ikan-ikan itu berenang di dalam laut hingga tidak terlihat seekor pun. “Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”
Jadi, kefasikan merekalah yang menyebabkan mereka diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Seandainya mereka tidak melanggar ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah memaafkan mereka dan tidak menghadapkan mereka kepada bala dan kejelekan. Akhirnya, mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkapnya.
Pelanggaran Ashabus Sabti dan hukuman Allah terhadap mereka
Kontrak ibadah telah ditetapkan untuk Ashabus Sabti untuk mengagungkan hari Sabat dan tidak mencari ikan di hari tersebut. Menurut penuturan Ibnu Katsir, pada mulanya mereka mentaati aturan tersebut. Namun, untuk waktu-waktu selanjutnya mereka mulai tergoda dengan ujian yang Allah berikan. Karena ikan yang muncul di hari Sabat sangat banyak, mereka memasang jala di hari Jumat dan mengambilnya di hari Minggu, sedangkan pada hari Sabtu mereka tetap beribadah. Jelas saja, ikan yang mereka dapatkan sangat banyak. Namun, mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka tersebut mempermainkan Allah. Meskipun mereka tidak mencari ikan di hari Sabtu dan tetap beribadah, tetap saja perbuatan mereka melanggar aturan dan membuat siasat tipu daya terhadap Allah.
Dalam Surat Al-A’raf ayat 164 dijelaskan mengenai sekelompok Yahudi yang acuh dan Yahudi yang mengingatkan akan pelanggaran teman-temannya, Ashabus Sabti. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa dalam kisah Ashabus Sabti terdapat tiga kategori golongan.
Setelah ada sebagian dari mereka menangkap ikan-ikan tersebut, terpecahlah mereka menjadi tiga:
a. sebagian melakukannya,
b. ada sebagian lagi mengingkari perbuatan mereka itu, dan
c. sebagian yang lain tidak mengerjakan, tidak pula mencegah, tetapi mereka mengingkari perbuatan tersebut.
Golongan pertama yaitu mereka yang melanggar aturan hari Sabat seperti yang telah diceritakan dalam Surat Al-A’raf ayat 163.
Golongan yang kedua adalah mereka yang berusaha mengingatkan teman-temannya yang melanggar, yaitu golongan pertama itu.
Golongan yang terakhir adalah mereka yang acuh kepada mereka yang melanggar.
Seperti yang diceritakan dalam Surat Al-A’raf ayat 164 bahwa golongan ketiga tersebut malah bertanya kepada golongan kedua “Mengapa kamu menasihati orang-orang yang akan dibinasakan oleh Allah atau disiksa berat?”. Namun, golongan kedua menjawab “kami lakukan itu sebagai usaha permohonan ampun kepada Tuhanmu dengan harapan mereka kembali bertaqwa.”
Balasan Allah pun akhirnya datang. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Surat Al-A’raf ayat 165, Allah menyelamatkan kelompok yang mencegah pelanggaran tersebut dan menyiksa mereka yang melakukan pelanggaran. Merujuk keterangan Ibnu Katsir, kelompok terakhir yang mengacuhkan pelanggaran tersebut tidak dijelaskan Allah mengenai balasan untuk mereka.
Sedikit demi sedikit mulai bertambah mereka yang ikut menangkap ikan tersebut. Sementara itu, orang-orang yang menasihati terus berulang-ulang mengingatkan mereka. Bahkan, orang-orang tersebut mengancam, “Kamu masih juga melakukannya, wahai musuh-musuh Allah. Demi Allah, kami tidak akan bertetangga lagi dengan kalian dalam satu desa.”
Akhirnya, mereka membagi desa itu dengan sebuah tembok. Tatkala mereka tidak mau memperhatikan nasihat orang-orang yang melarang perbuatan buruk tersebut, justru terus-menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran.
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat,” yaitu orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Kami selamatkan mereka dari azab.
Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (al-A’raf: 165),
وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim…,” yaitu orang-orang yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut.
بِعَذَابِۢ بَِٔيسِۢ
“…siksaan yang keras.” Maksudnya, yang menyakitkan.
بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
“…disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-A’raf: 165)
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya,
فَلَمَّا عَتَوۡاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنۡهُ قُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَٰسِِٔينَ
“Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (al-A’raf: 166)
Mereka pun menjadi kera-kera yang hina padahal sebelumnya mereka adalah kaum yang terhormat.
Keesokan harinya, orang-orang yang beriman tidak melihat seorang pun keluar dari balik tembok tersebut. Tidak terdengar aktivitas mereka seperti biasa. Akhirnya, mereka memasuki pintu pembatas kampung tersebut. Mereka melihat kenyataan yang menyedihkan. Seorang pria berikut istri dan anaknya telah berubah menjadi kera. Mulailah mereka masuk menemui kera-kera yang dahulunya adalah orang-orang yang mereka kenal.
“Wahai Fulan, bukankah sudah aku peringatkan kepadamu azab Allah? Bukankah… bukankah?” Namun, tak ada sahutan. Yang ada hanya tangis. Sebagian kera yang mendekat mencium pakaian orang yang datang dan dia mengenalnya. Kera itu pun menangis. Demikian dikisahkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsir-nya.
Hukuman Allah nyata diberikan kepada mereka yang melanggar aturan hari Sabat ini seperti tertera dalam Surat Al-A’raf ayat 166 dan juga Al-Baqarah ayat 65 pada lafadz “kuunuu qiradatan khasyi’iin”. Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn serta Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-’Adhim menafsirkan hukuman tersebut secara fisik, yaitu mereka dirubah keadaannya menjadi seekor kera yang mempunyai ekor. Namun, mufassir kontemporer seperti Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah dan juga Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz menafsirkan hukuman tersebut sebagai kiasan sifat. Mereka menjadi orang-orang yang hina seperti kera yang selalu disingkirkan dan dibenci.
Beberapa Faedah Kisah Ini
1. Kisah yang terkandung dalam ayat ini dan yang semakna, menegaskan kebenaran nubuwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Sebab, kisah-kisah seperti ini, yang bercerita tentang Bani Israil, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali melalui berita dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sementara itu, ahli kitab menutup-nutupinya.
2. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala memberikan nikmat kepada satu umat lalu mereka berpaling dan tidak mensyukurinya, niscaya mereka ditimpa petaka pertama kali kemudian menerima azab.
Pentingnya amar makruf nahi mungkar.
Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan orang-orang yang mencegah kemungkaran. Allah juga membinasakan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan tidak mau berhenti darinya.
3. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya amar makruf nahi mungkar.
Tingkatan Amar Makruf Nahi Mungkar
Amar makruf nahi mungkar itu sendiri mempunyai tiga tingkatan. Hal ini diuraikan oleh asy-Syinqithi rahimahullah dalam kitabnya, Adhwa’ul Bayan (1/408), yaitu:
1. Iqamatul hujjah (menegakkan hujah) Allah terhadap makhluk-Nya.
Dengan demikian, mereka tidak punya alasan untuk berkilah. Ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”
2. Lepasnya orang yang memerintahkan kebaikan dari tanggung jawab.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang saleh di kalangan masyarakat yang melanggar hari Sabtu tersebut,
مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (al-A’raf: 164)
Demikian juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَتَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَمَآ أَنتَ بِمَلُومٍ
“Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-kali tidak tercela.” (adz-Dzariyat: 54)
Ini menunjukkan bahwa sekiranya dia tidak keluar dari tanggung jawab tersebut, tentulah dia tercela.
3. Berharap agar yang diperintah mendapatkan manfaat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” (al-A’raf: 164)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)
Wallahu a’lam
*****
FAKTA ILMIAH :
Ternyata masih ada sebagian orang yang menganggap kera dan monyet adalah hewan yang sama. Bahkan masih banyak orang tertukar dalam menyebut kedua jenis hewan yang beda spesies ini.
Meski masuk dalam keluarga yang sama yaitu keluarga Primata, tapi kedua hewan ini adalah jenis hewan yang berbeda. Seperti juga penyebutannya dalam bahasa Inggris, monyet disebut monkey, sedangkan kera disebut apes.
Jika mengacu pada buku "The Primates" (Life Nature Library: 1978) yang ditulis Sarel Eimerl disebutkan bahwa kata primata berarti pertama atau utama. Mahluk hidup yang termasuk dalam kelompok primata adalah lemur, tarsius, monyet, kera.
Dilansir jurnalbumi.com, disebutkan bahwa dalam ilmu taxonomi atau klasifikasi mahluk hidup, perbedaan kera dan monyet terletak pada tingkat super keluarga. Kera diklasifikasikan sebagai super keluarga Hominoidea sedangkan monyet digolongkan sebagai super keluarga Cercopithecoidea. Jenis-jenis monyet yang termasuk dalam Cercopithecoidea sering juga disebut monyet dunia lama.
Tidak semua monyet digolongkan sebagai super keluarga Cercopithecoidea, beberapa spesies monyet yang ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan digolongkan sebagai parvorder Platyrrhini. Berbeda dari super keluarga Cercopithecoidea yang digolongkan sebagai parvorder Catarrhini. Salah satu contoh monyet dari parvorder Platyrrhini adalah Marmoset. Sedangkan, senis-jenis monyet yang termasuk dalam Platyrrhini disebut monyet dunia baru.
Sedangkan untuk klasifikasi kera lebih banyak lagi, super keluarga Hominoidea terbagi lagi ke dalam keluarga Hylobatidae seperti Gibbon dan keluarga Hominidae yang didalamnya termasuk orang utan, gorila, simpanse dan juga manusia.
Jenis hewan yang termasuk keluarga kera atau apes atau disebut juga kera besar adalah orang utan, simpanse, gorila dan gibbon. Seperti dikutip dari wwf.or.id, secara klasifikasi ilmiah non-human primate yang termasuk golongan kera besar yang ada di Indonesia adalah Pongidae (orangutan).
Sementara gibbon adalah jenis kera kecil yang sering disebut juga owa atau ungka. Hylobatidae (owa) atau gibbon yang ada di Indonesia salah satunya adalah owa Jawa (Hylobates moloch) yang termasuk primata endemik Jawa.
Menurut Carolus Linnaeus, yaitu bapak taksonomi dan ekologi modern, sebutan "pertama" diberikan pada kelompok hewan ini karena memiliki kecerdasan yang melebihi kelompok hewan lainnya.
Sedangkan, monyet adalah sebutan untuk semua anggota primata yang bukan prosimia ("pra-kera" atau primata primitif, seperti lemur dan tarsius) dan kera. Sebutan monyet dibagi menjadi dua jenis yaitu monyet dunia lama dan monyet dunia baru.
Monyet dunia lama hidup di wilayah benua Asia, Eropa, Afrika dan Australia. Monyet dunia baru adalah monyet yang tinggal di benua Amerika. Istilah lama dan baru mengacu pada penemuan benua Amerika yang relatif lebih baru daripada dunia lama yang sudah diketahui manusia lebih dulu.
Hampir semua spesies monyet yang ada kebanyakan hidup di daerah beriklim tropis atau subtropis. Hingga saat ini dikenal ada 264 jenis monyet yang hidup di dunia.
Pengelompokan monyet bersifat parafiletik, karena monyet Dunia Lama (Cercopithecoidea) sebenarnya lebih dekat kekerabatan genetiknya dengan kera (Hominidae), daripada monyet Dunia Baru (Platyrrhini).
Dikutip dari pendidikan.co.id, istilah parafiletik adalah sebutan yang digunakan dalam biologi evolusioner untuk menggambarkan sekelompok hewan yang mengandung leluhur dan beberapa, tetapi tidak semua, dari keturunan bersama atau yang sama.
Perbedaan kera dan monyet
1. Ukuran otak
Kera memiliki ukuran otak yang lebih besar dibandingkan monyet. Perbedaan volume otak ini menghasilkan tingkat kecerdasan dan tingkah laku yang berbeda antara kera dan monyet. Para ahli menyebutkan bahwa kera lebih pandai dibandingkan monyet dalam menggunakan dan memanfaatkan benda di sekitarnya sebagai alat untuk berburu atau mendapatkan makanan.
2. Cara berjalan
Kera berjalan hanya menggunakan kedua kakinya, sedangkan monyet berjalan menggunakan kedua kaki dan kedua lengannya.
3. Ekor
Ekor pada kera sangat pendek, bahkan ada beberapa yang tidak memiliki ekor sama sekali atau hanya berupa tonjolan di bagian bokongnya. Sementara pada monyet rata-rata memiliki ekor yang cukup panjang.
4. Lengan
Kalau kera memiliki ukuran lengan yang lebih panjang dari kakinya. Lengan ini biasanya digunakan untuk bergelantungan di cabang atau ranting pohon. Tak hanya itu kera juga bisa berjalan menggunakan kedua kaki, layaknya manusia. Sedangkan ukuran lengan monyet relatif sama atau lebih pendek dari panjang kakinya. Pasalnya lengan monyet jarang dipakai untuk bergelantungan.
5. Cara hidup dan habitat
Kera memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, hingga pergerakannya lebih lambat dan cenderung soliter, hidup sendiri atau tidak berkelompok. Sedangkan monyet memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari pada kera, hingga pergerakannya lebih cepat dan lincah, sekaligus juga cenderung hidup berkelompok.
Biasanya kera lebih banyak menghabiskan waktunya di atas pohon dan suka bergelantungan (arboreal). Kalau monyet hidup di pohon dan di darat atau tanah disebut juga semi terestrial. Tapi ada juga jenis monyet yang hidup hanya di darat atau tanah saja (terestrial).
Contoh jenis monyet yang ada di Indonesia diantaranya adalah:
1. Bekantan (Nasalis larvatus)
2. Beruk Mentawai (Macaca pagensis)
3. Monyet Ekor Babi atau Simakobu (Simias concolor)
4. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
5. Surili Jawa (Presbytis comata)
6. Simpai atau Surili Sumatera (Presbytis melalophos)
7. Lutung Dahi Putih (Presbytis frontata)
8. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Contoh jenis kera yang ada di Indonesia diantaranya adalah:
1. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)
2. Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
3. Owa Ungko (Hylobates agilis)
4. Siamang (Symphalangus syndactylus)
5. Owa Jawa (Hylobates moloch)
*****
DIALOG IMAN :
Ashabus Sabt adalah sekelompok kaum Yahudi yang menjadi umat Nabi Musa Alaihissalam (AS). Mereka tinggal di dekat kota Elat, di pesisir Laut Merah. Allah mengharamkan mereka untuk menangkap ikan pada hari Sabtu.
''Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.'' [QS Al-A'raaf (7) : 163]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Ibnu Katsir berpendapat, penduduk Elat (Ailah, Elia) merupakan sebuah desa yang berada di antara Madyan dan Ath-Thur (eltor), di dekat Teluk Aqabah dan pesisir Laut Merah. Mereka melanggar perintah Allah yang mengharamkan menangkap ikan pada hari Sabtu.
Pada hari-hari selain Sabtu, Allah menguji mereka dengan meniadakan ikan-ikan tersebut. Mereka kemudian menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah, dengan melakukan segala upaya secara tersirat bermakna melakukan perbuatan haram.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Faqih Ibnu Bithah rahimahullah, meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ''Janganlah kalian melanggar perintah layaknya orang-orang Yahudi--menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah--dengan alasan apa pun.''
Menurut pendapat sejumlah ulama dan ahli tafsir, kaum Yahudi ini terbagi tiga kelompok. Pertama, mereka yang melanggar dan menghalalkan penangkapan ikan pada hari Sabtu. Kedua, mereka yang melarang perbuatan tersebut dan meninggalkan mereka. Ketiga, mereka yang diam saja, tidak melakukannya, dan tidak pula melarang perbuatan teman-temannya. Namun, mereka hanya berkata pada kelompok yang melarang, ''Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah dengan azab yang pedih.'' [Al-A'raaf (7) : 164]
Allah berfirman dengan menjelaskan azab yang menimpa mereka. ''Dan, (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ''Mengapa kalian menasihati kaum yang akan dibinasakan atau disiksa Allah, dengan azab yang pedih. Mereka menjawab, 'Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertakwa'. Maka, tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang, mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, 'Jadilah kamu kera yang hina'.'' [QS al-A'raaf (7) : 64-66]
Itulah balasan bagi orang-orang yang senantiasa melanggar perintah Allah dan senantiasa berlaku fasik. ''Katakanlah : 'Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?' Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.'' [Al-Maidah (5) : 60]
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan surah Al-A'raaf ayat 66 tersebut, khususnya berkaitan dengan dijadikannya kaum Bani Israil itu menjadi kera. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ia sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa kelompok ketiga juga termasuk orang yang binasa, seperti halnya kelompok pertama, karena mereka berhak mendapatkannya akibat mereka diam dan tidak memberi nasihat. Boleh jadi diamnya mereka itu menyebabkan kelompok pertama terus bercokol dalam kezalimannya. Karena orang yang tidak melarang dari perbuatan mungkar, baginya azab di sisi Allah.
Allah berfirman, ''Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.'' [Al-Maidah (5) : 78-79]
Berbeda dengan Ibnu Katsir, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al Quran menjelaskan, kendati kelompok ketiga tidak disebutkan dalam nash Alquran, mungkin karena memandang rendah urusan mereka meskipun tidak ditimpa azab. Karena, mereka tidak mau melakukan pencegahan secara aktif, tetapi hanya mengingkarinya secara pasif (membenci kemungkaran, tetapi tidak mencegahnya). Karena itu, mereka pantas diabaikan meskipun tidak terkena azab.
Wallahu A'lam.
*****